BdBK-23


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 23

kembali | lanjut

BdBK-23IRING-IRINGAN pasukan berkuda itupun kemudian sekali lagi memutar haluan. Mereka meneruskan tugas mereka, nganglang mengelilingi kota Surakarta.

Sementara itu, kereta Pangeran Sindurata yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit telah sampai ke regol halaman istana Ranakusuman. Ketika para penjaga regol itu melihat seorang perempuan cantik seorang diri berada di dalam kereta itu, mereka menjadi berdebar-debar.

Namun akhirnya salah seorang dari mereka segera dapat mengenalinya. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Raden Ayu Ranakusuma”

Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu Raden Ayu Galihwarit memerintahkan kepada saisnya, “Terus. Langsung memasuki halaman”

Saisnya ragu-ragu. Tetapi ketika kereta itu bergeser maju, maka para penjaga pun telah menyibak dan tidak seorang pun berusaha untuk bertanya sesuatu kepada sais maupun penumpang kereta itu.

Kedatangan Raden Ayu Ranakusuma ke bekas istananya itu memang telah mengejutkan para prajurit dari pasukan berkuda. Bahkan Tumenggung Watang yang menerima laporan tentang kehadiran Raden Ayu Ranakusuma itu pun dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya.

Namun Tumenggung yang berpikiran jernih itu segera dapat menangkap kepentingan kehadiran puteri itu, karena anak gadisnya, Rara Warih telah berada di dalam tangan para prajurit dari pasukan berkuda.

Tetapi bagaimanapun juga, Tumenggung Watang masih bersikap hormat kepada Raden Ayu Ranakusuma. Meskipun Pangeran Ranakusuma sendiri telah dianggap berkhianat, tetapi kebesaran namanya pada masa lampau masih saja membekas di setiap hati para prajurit, termasuk Tumenggung Watang.

Demikian kereta itu berhenti di kuncung pendapa, maka Tumenggung Watang diiringi oleh dua orang perwira telah menyongsongnya dan dengan hormat mempersilahkan puteri itu naik ke pendapa.

Raden Ayu Galihwarit yang telah turun dari keretanya itu memandang berkeliling, seolah-olah ia ingin mengenali kembali istana yang sudah agak lama ditinggalkannya. Bukan saja sejak Pangeran Ranakusuma dianggap berkhianat, tetapi jauh sebelum itu ia telah diantar pulang ke rumah orang tuanya oleh Pangeran Ranakusuma sendiri.

“Marilah, silahkan Raden Ayu” Tumenggung Watang mempersilahkan.

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Apakah aku masih diperkenankan naik ke pendapa?”

“Tentu. Silahkan” Tumenggung Watang mempersilahkannya sekali lagi.

Raden Ayu Ranakusuma itu masih saja tersenyum. Dengan langkah-langkah kecil ia naik ke pendapa dan sekali lagi ia memandang berkeliling.

“Aku tidak melihat perubahan sama sekali” gumamnya.

“Ya Raden Ayu” sahut Tumenggung Watang, “Kami yang sekarang berada di sini berusaha untuk menjaga agar segalanya tetap seperti semula”

Raden Ayu Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia tidak segera duduk di pendapa. Tetapi ia berjalan berkeliling. Diamatinya perhiasan dinding satu demi satu. Jambangan bunga yang tidak lagi berisi bunga di atas bancik berukir di sudut.

“Sayang” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “Aku mendapatkan jambangan bunga ini dari tuan Dungkur. Kenapa Ki Tumenggung tidak menyuruh salah seorang pelayan untuk mengisinya dengan bunga? Jambangan itu adalah jambangan yang sangat mahal. Buatan Cina dan berumur tua. Ki Tumenggung dapat menyuruh seseorang memetik bunga ceplok piring. He, bukankah di sudut halaman samping terdapat beberapa batang bunga ceplok piring?”

“Ya Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Tetapi aku tidak sempat melakukannya”

“O. Para prajurit Surakarta tentu sedang sibuk” desis Raden Ayu, “Tetapi apakah aku diperkenankan melihat-lihat keadaan di dalam istana yang pernah aku huni ini?”

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Silahkan Raden Ayu. Tetapi aku mohon maaf bahwa aku tidak dapat mengantarkannya Biarlah perwira muda ini mengantar Raden Ayu melihat-lihat isi bekas istana Raden Ayu ini”

“Ah, aku tidak mau mengganggu kalian. Kenapa harus mengganggu tugas seorang perwira hanya sekedar untuk mengantar aku? Aku mengenal rumah ini dengan segala isinya. Aku tidak akan tersesat sehingga tidak dapat keluar lagi” berkata Raden Ayu Galihwarit

“Soalnya bukan demikian” jawab Tumenggung Watang, yang dengan serta merta dipotong oleh Raden Ayu Ranakusuma, “Baiklah. Aku mengerti. Kalian tentu mencurigai aku, karena aku adalah isteri seorang Pangeran yang dianggap berkhianat. Bukan saja suamiku yang terbunuh di peperangan itu. Tetapi juga anak perempuanku. Bukankah Warih ada di sini?”

Ki Tumenggung Watang mengangguk-angguk kecil. Jawabnya, “Ya. Rara Warih memang ada di sini”

“Aku sudah mendengar semuanya” berkata Raden Ayu Sontrang, “anak gadisku itu ditangkap untuk memancing anak dungu yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Ayu Sontrang berkata, “Tetapi silahkan Ki Tumenggung. Aku tidak akan mengganggumu. Aku akan melihat-lihat isi rumahku. Jika para prajurit mencurigaiku, silahkan siapa di antara para prajurit yang akan mengawasi aku”

“Tetapi Raden Ayu” berkata Tumenggung Watang kemudian, “Aku menduga bahwa kedatangan Raden Ayu bukannya sekedar ingin melihat-lihat istana ini dan isinya, tetapi tentu berhubung-an dengan keadaan Rara Warih”

“Tepat” jawab Raden Ayu Ranakusuma, “nanti aku akan menghadap Ki Tumenggung setelah aku puas memanjakan kenangan masa lampau yang sangat menyenangkan itu”

Tumenggung Watang mulai diganggu oleh perasaan jemu menanggapi sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia bukan lagi isteri seorang Pangeran yang besar bagi Surakarta, justru sebaliknya. Nama Pangeran Ranakusuma di lingkungan para bangsawan di Surakarta telah menjadi buram.

Di luar dugaan Tumenggung Watang, Raden Ayu itu pun berkata, “Maaf Ki Tumenggung. Barangkali aku terlalu memuakkan bagi Ki Tumenggung. Tetapi aku minta ijin barang sejenak untuk melihat-lihat. Mudah-mudahan dapat menjadi obat bagi penyakitku yang sudah beberapa lama masih saja selalu datang mengganggu. Mungkin Ki Tumenggung pernah juga mendengar, bahwa aku mengalami satu masa yang sangat mengganggu dalam hidupku. Mudah-mudahan aku akan benar-benar dapat sembuh”

Tumenggung Watang tidak telaten lagi melayani Raden Ayu Ranakusuma itu. Karena itu, maka diperintahkannya seorang perwira untuk mengikutinya tetapi sekaligus mengawasinya.

Perwira muda itu mengikut saja kemana Raden Ayu Galihwarit pergi. Dimasukinya setiap ruang di dalam bekas istananya itu. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Tumenggung Watang, segalanya masih berada di tempatnya dan terpelihara baik.

“Dimana Warih di simpan?” bertanya Raden Ayu itu tiba-tiba.

“Di gandok Raden Ayu” jawab perwira muda itu.

“Gandok mana” desak Raden Ayu itu.

“Gandok kanan” jawab perwira itu pula.

“Apakah aku dapat menengoknya?” bertanya Raden Ayu itu pula.

“Aku kira Raden Ayu akan dapat menemuinya, tetapi segalanya terserah kepada Tumenggung Watang” jawab perwira muda itu.

Perwira muda itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya, “Baik. Aku akan menemui Ki Tumenggung” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku belum selesai. Aku ingin melihat semua ruang. Dari ruang yang paling ujung, sampai ke ruang tidurku”

Perwira itu menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba saja Raden Ayu itu justru membimbing lengannya seperti membimbing anaknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Marilah anak manis. Jika anakku masih hidup, umurnya tentu tidak berada di istana ini”

Terasa tangan perwira muda itu menjadi gemetar. Namun Raden Ayu itu tertawa, “Jangan takut. Aku tidak apa-apa. Aku tidak sedang kambuh. Aku sehat dan menyadari apa yang aku lakukan”

Perwira muda itu tidak dapat mengelak, Ketika mereka memasuki sebuah ruangan, maka Raden Ayu itu pun berkata, “Ini adalah bilik tidurku. Di sini aku tidur di saat aku masih akan terpaut banyak dengan umurmu”

Perwira muda itu berdiri tegak di pintu bilik. Ia tidak mau melangkah lagi. Karena itu, maka Raden Ayu itu pun kemudian memasuki bilik yang cukup luas itu seorang diri. Kemudian duduk di atas pembaringannya yang masih saja seperti dahulu,

“Alangkah senangnya masa-masa yang lewat. Tetapi sekarang suamiku sudah terbunuh di peperangan sebagai seorang pengkhianat. Bukankah begitu anak muda?” bertanya Raden Ayu itu sambil tertawa kecil.

Perwira muda itu tergagap. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ya Raden Ayu, demikianlah agaknya”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Namun bagaimanapun juga, terasa jantungnya bagaikan tergores sembilu. Kenangannya mulai merayap menelusuri masa lampaunya. Di pembaringan itu pula Rudira dibaringkan seperti seorang yang sedang tidur nyenyak. Betapa ia terkejut ketika ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga kejutan itu telah mengganggu kesadarannya.

Terasa kepala Raden Ayu Galihwarit mulai menjadi patung. Rasa-rasanya ia akan terlempar kembali ke dalam satu dunia yang buram, sebagaimana saat-saat penyakitnya akan kambuh.

Untuk beberapa saat perwira yang menungguinya di pintu menjadi berdebar-debar. Ia melihat Raden Ayu Galihwarit itu memegangi keningnya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Ayu Itu menghentakkan tangannya sambil bergumam didalam hati, “Tidak. Aku tidak boleh gila disini. Aku sedang berusaha untuk berbuat sesuatu untuk Rara Warih. Jika aku tenggelam dalam kenangan atas Rudira dan masa lampau, maka aku akan kehilangan lagi. Warih”

Perwira yang masih tegak di pintu itu heran melihat sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia pernah mendengar bahwa puteri itu mempunyai semacam penyakit yang mengganggu syarafnya. Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar. Lebih baik ia berada di medan perang daripada harus menghadapi seorang puteri yang terganggu syarafnya.

Perwira itu menjadi sangat gelisah. Ketika Raden Ayu Galihwarit itu berdiri sambil tersenyum, maka ia pun melangkah surut.

“Jangan takut anak muda. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakitku. Tetapi sekarang aku sadar sepenuhnya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “sekarang, antarkan aku kepada Ki Tumenggung Watang. Aku akan berbicara tentang Warih”

Perwira muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mempersilahkan Raden Ayu berjalan di depan.

Di luar sadarnya, perwira muda itu sempat mengamati Raden Ayu Galihwarit yang berjalan di depannya. Langkahnya kecil-kecil meskipun agak cepat, seirama dengan gerak lambungnya.

“Gila. Ia sudah setua ibuku” perwira itu menggeram di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa Raden Ayu Galihwarit adalah seorang puteri yang cantik dan nampak jauh lebih muda dari usianya, justru setelah ia menjadi agak kurus dan bertambah kuning.

“Memang agak aneh” berkata perwira itu di dalam hatinya, “dalam keadaan sakit, ia masih tetap sempat memelihara kecantikannya”

Tetapi perwira itu pun mengetahui, bahwa Raden Ayu itu tidak dalam keadaan sakit seperti orang sakit kebanyakan. Hanya kadang-kadang saja gangguan syaraf itu datang. Selebihnya, ia sebagaimana orang sehat-sehat saja, sehingga ia masih sempat juga ngadi sarira sebagaimana selalu dilakukannya.

Sejenak kemudian, maka Raden Ayu itu pun telah dipersilahkan memasuki sebuah bilik yang cukup besar. Tumenggung Watang telah menunggunya dengan tidak sabar. Ia tahu pasti, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu tentu akan menemuinya dan minta ijin kepadanya untuk menemui puterinya yang ditahan di bekas istana Pangeran Ranakusuma itu.

“Silahkan Raden Ayu” Tumenggung Watang mempersilahkan.

Raden Ayu itu pun kemudian duduk di hadapan Tumenggung Watang. Sebelum dipersilahkan, Raden Ayu itu pun berkata, “Ki Tumenggung tentu sudah mengetahui maksud kedatanganku kemari”

“Ya Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Raden Ayu akan berbicara tentang Rara Warih”

“Ya. Aku ingin bertemu dengan puteriku” berkata Raden Ayu Ranakusuma kemudian, “Apakah aku diijinkan?”

“Pada dasarnya kami tidak berkeberatan Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Tetapi bukankah Raden Ayu sudah tahu, kenapa Rara Warih itu ditangkap?”

“Ternyata telah terjadi satu kesalahan sikap dari pasukan berkuda atau dari para Senapati di Surakarta ” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Apa artinya Rara Warih bagi anak pidak pedarakan yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu”

“Maksud Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang.

“Apakah Ki Tumenggung menganggap bahwa Warih akan dapat dipergunakan untuk memancing Juwiring?” justru Raden Ayu itu pun bertanya.

Tumenggung Watang mengangguk. Jawabnya, “Ya Raden Ayu. Karena itu, maka kami terpaksa untuk sementara menahan Rara Warih di sini atas persetujuan para Senapati”

“Dan kumpeni” Raden Ayu bertanya.

Tumenggung Watang menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Ya. Atas persetujuan kumpeni. Tetapi persetujuan itu pada dasarnya karena keterangan-keterangan yang kami berikan”

Tetapi Raden Ayu Galihwarit itu tertawa. Katanya, “Kalian salah hitung. Warih dan Juwiring bukan dua orang saudara yang mempunyai ikatan jiwani. Juwiring tidak akan menghiraukan meskipun seandainya Warih akan digantung sekalipun”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Semuanya telah berubah sejak Raden Ayu sakit. Aku yakin, bahwa keduanya telah menemukan diri mereka dalam hubungan dua orang saudara”

Tetapi Raden Ayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku lebih tahu tentang jiwa anakku. Aku tahu bahwa pada suatu saat ia tidak dapat menolak tekanan ayahandanya untuk menerima Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi aku tahu pasti, apa yang bergejolak di dalam jiwa anakku. Tetapi sebaliknya, aku juga tahu, apa yang bergejolak di dalam jiwa Juwiring. Tanpa Rara Warih, Juwiring adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma”

“Untuk apa kebanggaan Raden Juwiring, bahwa ia adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma? Jika keadaan tidak berubah, mungkin ia akan mendapatkan hak atas warisan dari segala harta kekayaan Pangeran Ranakusuma. Tetapi sekarang tidak lagi. Tidak ada lagi yang berhak mewarisi kekayaan Pangeran Ranakusuma yang melimpah ini, karena Pangeran Ranakusuma sudah menentang Kangjeng Susuhunan”

Tetapi Raden Ayu itu tersenyum. Katanya, “Pandangan Ki Tumenggung ternyata sangat sempit. Apakah Ki Tumenggung tidak memperhitungkan bahwa suasana akan berubah? Bahkan mungkin sekali Pangeran Mangkubumi akan menang, sehingga dengan demikian Juwiring akan dapat memperhitungkan warisan yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma yang bagi perjuangan Pangeran Mangkubumi sama sekali bukan seorang pengkhianat, bahkan ia adalah seorang pahlawan” Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, atas dasar perhitungan itulah maka Juwiring justru ingin diangkat sebagai satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma”

“Tetapi apakah Raden Ayu mempunyai perhitungan, meskipun hanya sepercik kecil, bahwa Pangeran Mangkubumi akan menang?” bertanya Tumenggung Watang.

“Semua kemungkinan dapat terjadi” jawab Raden Ayu. Lalu, “Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan berdoa demikian. Aku ingin keadaan tidak berubah. Karena dengan demikian, maka aku akan mendapat kesempatan untuk menuntut hak semua warisan yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma. Aku tidak dapat disertakan dalam kesalahannya, karena aku tidak terlibat di dalamnya. Bahkan pada waktu itu, seolah-olah aku memang sedang disingkirkan. Karena itu, maka akulah yang berhak untuk mendapatkan segala kekayaan Pangeran Ranakusuma. Sebelum segalanya terjadi, maka aku memang akan mulai dengan segala macam usaha untuk mendapatkan hakku kembali. Sudah tentu bahwa kemudian segala warisan Itu akan jatuh ke tangan Rara Warih”

Tetapi Tumenggung Watang menggelengkan kepalanya. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mohon Raden Ayu dapat bertemu dengan Rara Warih sendiri. Raden Ayu akan dapat berbicara dengan puteri itu. Raden Ayu akan tahu sikapnya. Mudah-mudahan Raden Ayu tidak kecewa karenanya”

“Aku memang akan bertemu dengan Warih. Aku ingin berbicara berterus terang” desis Raden Ayu Galihwarit.

“Silahkan. Biarlah seorang emban mengantarkan Raden Ayu berkata Tumenggung Watang.

“Aku ingin berbicara dengan Warih tanpa orang lain. Aku ingin ia berbicara terbuka” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Silahkan. Biarlah seorang prajurit mengantar Raden Ayu sampai ke bilik Rara Warih”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Kemudian seperti dikatakan oleh Tumenggung Watang, maka ia pun segera diantarkan oleh seorang prajurit menuju ke bilik Rara Warih di gandok.

Kehadiran Raden Ayu Galihwarit membuat puterinya terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ibunya akan datang menemuinya.

Rara Warih masih tegak mematung di dalam biliknya ketika ibunya memberi isyarat kepada prajurit yang mengantarkannya untuk meninggalkan bilik itu.

Demikian prajurit itu pergi, maka Raden Ayu itu pun segera menutup dan menyelarak pintu dari dalam.

Untuk beberapa saat keduanya berdiri mematung sambil berpandangan. Namun Raden Ayu itu menyadari, bahwa Rara Warih masih dibayangi oleh kebimbangan perasaan. Karena itu, ketika Raden Ayu maju setapak, justru Rara Warih mundur selangkah.

“Warih” desis ibundanya.

Rara Warih menjadi semakin cemas. Dengan bibir gemetar ia berdesis, “Ibunda. Bukankah ibunda sedang sakit?”

Betapa pedihnya pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan oleh anak gadisnya yang sangat dicintainya, tetapi yang dengan sadar Raden Ayu Galihwarit mengerti bahwa anaknya itu tentu merasa muak memandanginya.

“Aku memang sedang sakit, Warih” jawab ibunya hati-hati, “Tetapi ketika aku mendengar bahwa kau berada disini, aku memerlukan datang menengokmu”

Wajah Rara Warih menjadi semakin membayangkan kecemasannya. Namun dalam pada itu ibundanya berkata, “Tetapi bukankah kau mengetahui, bahwa aku tidak berbahaya bagimu? Dan meskipun aku sakit, tetapi ada kalanya aku sadar sepenuhnya tentang apa yang aku lakukan seperti sekarang ini?”

“Tetapi kenapa ibu tidak tinggal saja di istana eyang Sindurata. Jika ibunda kambuh di sembarang tempat, maka alangkah sakitnya hati keluarga eyang Sindurata” desis Warih.

“Aku menyadari sepenuhnya Warih. Itulah sebabnya aku berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak kambuh di sembarang tempat. Ketika aku memasuki bilik-bilik di bekas istana kita, rasa-rasanya hatiku mulai bergetar. Tetapi aku sudah mempunyai kekuatan batin untuk melawan kegilaanku itu. Justru pada saat aku mendengar ayahandamu gugur di peperangan, maka kejutan itu merupakan imbangan dari kejutan pada saat aku mendengar kakakmu terbunuh, justru di hadapan mataku, tetapi tanpa aku sadari”

Rara Warih bergeser surut. Ketika ibunya melangkah maju lagi, ia berkata, “Ibunda tetap di situ”

“Warih” desis ibundanya, “Aku sadar sepenuhnya. Dan aku sudah mendapatkan kekuatanku kembali untuk tetap sadar”

“Seandainya ibunda sudah sembuh, namun ibunda tentu tidak akan mengerti persoalan yang sedang aku hadapi sekarang” berkata Rara Warih.

“Aku mengerti sepenuhnya Warih” jawab ibundanya, “Kau telah ditangkap oleh prajurit dari pasukan berkuda. Atas persetujuan para Senapati di Surakarta serta kumpeni, kau telah ditahan sebagai taruhan, agar kakandamu Raden Juwiring dengan mudah dapat ditangkap”

Rara Warih memandang ibundanya dengan tatapan mata yang aneh. Menurut pendengarannya, aneh pula bahwa ibundanya telah menyebut Raden Juwiring dengan sebutan yang lengkap sebagai kakaknya.

Biasanya ibundanya sangat merendahkan Raden Juwiring dan menganggapnya bahwa Juwiring tidak sederajad dengan dirinya meskipun keduanya seayah.

Sementara Rara Warih masih dicengkam oleh kebimbangan akan sikap, ibundanya, Raden Ayu Galihwarit itu pun berkata seterusnya, “Warih. Aku telah mendengar banyak tentang persoalan yang kau hadapi”

“Jika demikian” sahut Rara Warih, “Apakah yang karang ibunda kehendaki”

“Aku ingin mendengar pengakuanmu. Bagaimanakah sikapmu terhadap tindakan ayahandamu dan kakandamu Raden Juwiring” jawab ibundanya.

“Jika ibunda mengetahuinya?” bertanya Rara Warih pula.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, anak gadisnya itu tidak lagi menaruh hormat kepadanya Rara Warih tentu sudah pernah mendengar, mungkin dari mulutnya sendiri, atau dari mulut orang lain, bahwa dalam keadaan tidak sadar, ia dapat menyebut apa saja yang bagi seorang gadis seumur Rara Warih itu tentu akan sangat memuakkan.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak akan ingkar. Ia justru telah mempersiapkan dirinya lahir batin untuk mengalami perlakuan apa saja dari siapa saja. Namun bahwa ia telah meletakkan dasar dan tujuan dengan penuh kesadarannya atas sikapnya itu.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Rara Warih. Betapapun rendah martabat seseorang, namun ia akan tetap mencintai anaknya. Aku tahu, bahwa kau memandang aku tidak lagi sebagai seorang perempuan yang pantas dihormati. Aku tidak berkeberatan Warih. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa bahwa aku tidak akan dapat membiarkan kau disekap dalam keadaan seperti ini”

“Dan ibunda akan mengorbankan kangmas Juwiring agar aku dapat dilepaskan dari tempat ini?” bertanya Rara Warih pula.

Raden Ayu Galihwarit itu menahan gejolak perasaannya. Betapa matanya terasa panas, tetapi ia tidak mau menangis. Ia tidak mau hanyut ke dalam arus perasaannya yang tidak menentu. Jika demikian, ia akan kehilangan pengamatan diri, dan ia akan jatuh ke dalam suasana yang mengerikan bagi anak gadisnya itu. Karena itu, bagaimanapun juga ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa ia akan tabah menghadapinya.

Rara Warih mengerutkan keningnya ketika ia melihat ibundanya justru tersenyum. Katanya, “Rara Warih. Cobalah katakan. Dimanakah kau sekarang berdiri. Biarlah aku tahu dengan pasti, sehingga aku akan dapat mengambil langkah-langkah yang sebaiknya aku lakukan. Sebenarnya aku sudah menduga sikapmu sekarang. Tetapi aku ingin mendengar kau sendiri mengucapkannya”

“Aku berdiri bersama kakangmas Juwiring” jawab Rara Warih tegas.

Sekali lagi Rara Warih terkejut ketika ia melihat ibunya mengangguk. Ibunya sama sekali tidak menunjukkan perubahan perasaan di wajahnya ketika ia mendengar pengakuan Rara Warih.

Bahkan Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian berkata, “Aku yakin bahwa kau akan mengatakannya Warih”

“Aku tidak mengerti sikap ibunda” justru Rara Warih lah yang kemudian menjadi bingung.

“Aku sudah mendengar serba sedikit, bahwa kau telah melibatkan diri, langsung atau tidak langsung. Kau ditangkap di padepokan Jati Aking dan bahkan para prajurit pasukan berkuda pun yakin bahwa kau akan dapat dipergunakannya memancing kakandamu Raden Juwiring” berkata Raden Ayu kemudian.

“Lalu, apakah yang akan ibunda lakukan? Berusaha memancing kakangmas Juwiring?” bertanya Rara Warih.

“Aku tidak merasa aneh bahwa kau akan berprasangka demikian. Tetapi Warih, ternyata pengalaman batinku telah membuat aku berubah. Aku sudah bertemu dengan kakandamu Raden Juwiring. Aku sudah mendengar segala-galanya” jawab Raden Ayu Ranakusuma.

“Jadi, bagaimana sikap ibunda?” bertanya Rara Warih pula.

“Warih” desis ibundanya perlahan-lahan, “Aku tidak akan ingkar di hadapanmu. Kau tentu sudah tahu apa yang pernah aku lakukan, sehingga kau tentu menganggap aku seorang perempuan yang kotor. Tetapi bagaimanapun juga, aku masih berperasaan. Pada akhirnya aku melihat suatu perkembangan jiwani di dalam dadaku. Aku merasa bersalah. Sampai saatnya Pangeran Ranakusuma gugur, aku belum pernah mohon maaf kepadanya. Karena itu, berilah aku kesempatan untuk menebus segala, dosa dan noda yang pernah melumuri kecantikanku”

“Ibunda” suara Rara Warih menjadi parau.

“Aku berkata sebenarnya Warih. Aku akan mempergunakan sisa hidupku untuk berbakti kepada Pangeran Ranakusuma” desis Raden Ayu Galihwarit, “Aku akan meneruskan perjuangan-nya, sudah tentu aku akan mempergunakan caraku”

Wajah Rara Warih menjadi tegang.

“Apakah masih ada secercah kepercayaanmu kepada ibundamu ini ngger?” suara Raden Ayu Galihwarit menurun.

Terasa sesuatu tergetar di jantung Rara Warih. Betapapun kotornya, perempuan itu adalah ibundanya yang mencintainya dan yang sebenarnya juga dicintainya.

Karena itu, di luar sadarnya, tiba-tiba saja matanya mulai mengaca.

“Warih” terdengar ibundanya berkata pula, “aku mohon kau percaya. Aku sudah mengakui segala kesalahanku. Aku mohon maaf kepadamu, justru kau seorang gadis yang sangat mudah melihat segala kesalahan dan dosa-dosaku. Selebihnya, dengan ikhlas aku sudah menerima Raden Juwiring sebagai anakku sendiri. Apalagi setelah aku mengerti, betapa kuat hatinya dan ternyata ia seorang yang luhur budi” ibundanya berhenti sejenak, lalu, “Kau mau memaafkan aku, Warih?”

Rara Warih termenung sejenak. Namun kemudian ia pun berlari memeluk ibundanya. Pelupuknya tidak lagi mampu membendung air matanya yang mengalir bagaikan banjir.

Seperti masa kanak-kanaknya, Rara Warih menangis di dalam pelukan ibundanya. Air matanya membasahi pangkuan ibundanya yang kemudian duduk di pembaringan Rara Warih.

Betapa jantungnya bagaikan teriris sembilu, namun Raden Ayu Ranakusuma itu berusaha bertahan dari hempasan perasaannya. Ia masih dibayangi oleh satu kecemasan, bahwa jika ia terseret arus perasaannya yang tidak terkendali, maka ia akan dapat kehilangan pengamatan atas kesadarannya dan jatuh ke dalam keadaan yang akan dapat membuat Warih terguncang pula hatinya.

“Tidak” ia mengatupkan giginya untuk menahan hati, “Aku tidak mau kehilangan lagi. Aku tidak mau menjadi sampah yang tidak berarti di hadapan anakku sendiri”

Dengan tangan gemetar Raden Ayu itu mengusap kepala anaknya sambil berkata, “Sudahlah Warih. Kita sudah sampai pada satu keadaan seperti ini. Penyesalan tidak lagi banyak membantu kita. Karena itu kita sekarang harus memikirkan, bagaimana kita dapat mengatasi kesulitan ini”

Rara Warih mengusap wajahnya yang basah. Ia masih mendengar ibunya berkata, “Kita jangan kehilangan akal. Mungkin kau masih harus tabah untuk satu dua hari lagi”

“Apakah yang akan ibu lakukan?” bertanya Rara Warih.

“Aku akan berusaha agar kau dapat keluar dari tempat ini tanpa mengorbankan kakandamu” jawab ibundanya.

“Apakah ibunda mempunyai cara tertentu? Apakah para pemimpin prajurit dari pasukan berkuda ini dapat diajak berunding?” bertanya puterinya.

“Aku akan mempergunakan segala cara” jawab ibundanya, “jika ayahandamu telah memberikan korban yang paling besar, ialah nyawanya, maka aku pun akan mengorbankan apa yang ada padaku. Maksudku bukan sekedar agar kau bebas dari batas-batas dinding ruangan ini, tetapi agar kau tidak menjadi hambatan bagi perjuangan kakandamu Raden Juwiring. Bahkan mungkin dalam keadaan putus-asa, Juwiring akan benar-benar datang menyerahkan dirinya bagi kebebasanmu”

Wajah Rara Warih menjadi tegang. Terbayang cara yang akan ditempuh oleh ibundanya. Terasa bulu-bulunya mulai meremang.

Namun ibundanya tersenyum sambil berkata, “Warih. Jangan hiraukan aku. Aku adalah sampah yang paling kotor. Tetapi biarlah sampah itu mempunyai arti juga sebagaimana sampah itu pula. Sampah akan berguna juga sebagai pupuk tanaman justru ia adalah sampah”

Sekali lagi perasaan gadis itu tersentak. Sekali lagi ia menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya sambil menangis. Dengan tangan gemetar ibundanya mengusap lagi rambutnya sambil berkata, “Sudahlah Warih. Jangan kau tangisi ibundamu. Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kematian ayah-andamu janganlah sia-sia. Meskipun Pangeran Mangkubumi tidak mengerti apa yang kita lakukan, biarlah kita membantunya meskipun hanya setitik air yang menetes di lautan. Diamlah dan bersikaplah sebagaimana sikap ayahandamu menghadapi amukan api peperangan”

Kata-kata ibundanya itu ternyata telah menyentuh hati Rara Warih. Pada saat-saat hatinya menjadi lemah, ia mencoba bersandar pada kebesaran nama ayahandanya. Dan kini ibundanya juga menyebut nama ayahandanya, Pangeran Ranakusuma. Seorang Senapati pilih tanding di medan perang.

Karena itu, maka Rara Warih pun telah mencoba menahan air matanya. Bahkan ia pun kemudian mencoba duduk di samping ibundanya.

“Warih” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “pertemuan kita sudah cukup lama. Aku akan kembali kepada eyangmu. Aku akan mencoba mempergunakan pengaruhnya untuk membebaskanmu. Atau usaha-usaha yang lain yang mungkin dapat aku lakukan”

Rara Warih mengangguk sambi berdesis, “Silahkan ibunda”

“Tetapi ketahuilah, bahkan kepada orang lain, aku bersikap seolah-olah aku tidak mengakui Juwiring sebagai putera Pangeran. Ranakusuma yang sederajad denganmu. Mungkin sikapku itu menyakiti hatinya jika ia menyaksikannya lewat mata siapapun juga. Tetapi mudah-mudahan dengan demikian aku akan berhasil” berkata ibundanya.

Sekali lagi Raden Ayu itu minta diri. Kemudian dibukanya selarak pintu bilik itu. Ketika ia keluar dari bilik itu, dilihatnya prajurit yang mengantarkannya berdiri di seketheng.

Langkah Raden Ayu yang mendekati prajurit itu telah menyadarkannya dari sebuah lamunan. Ketika prajurit itu berpaling, dilihatnya Raden Ayu Ranakusuma tersenyum kepadanya sambil berkata, “Aku sudah selesai. Antarkan aku kepada Tumenggung Watang”

Prajurit itu pun kemudian mempersilahkan Raden Ayu Galihwarit kembali memasuki bilik Tumenggung Watang yang nampaknya masih menunggu.

“Silahkan Raden Ayu” Tumenggung itu mempersilahkan.

Sambi duduk Raden Ayu itu berkata, “Aku sudah bertemu dengan anak gadisku”

“Nah, bukankah Raden Ayu sudah mengetahui sikap dan pendiriannya?” bertanya Tumenggung Watang.

Raden Ayu Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Ia hanya salah menangkap suasana”

“Maksud Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang.

“Aku sudah memberi penjelasan kepadanya” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “bahwa segalanya sama sekali tidak berarti baginya”

“Bagaimana pendapat Rara Warih?” bertanya Tumenggung itu pula.

“Seperti aku katakan, aku adalah ibundanya. Aku mengerti watak dan tabiatnya. Karena itu, maka aku merasa yakin dapat menjelaskan kepadanya” Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu, “Ki Tumenggung. Rara Warih telah mendapat keterangan yang salah dari ayahandanya, justru karena ayahandanya tiba-tiba saja melihat aku sebagai seorang yang tidak pantas lagi tinggal di istana ini pada saat aku sakit. Dengan keterangan-keterangan khusus, dan mungkin dengan sedikit tekanan puteriku telah menerima kehadiran Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi semuanya itu bukannya memancar dari hatinya. Juga perjuangan Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak dimengertinya. Ia mendengar dan mendapat keterangan yang berlebih-lebihan dari ayahandanya yang kebetulan mengambil langkah yang salah”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara Raden Ayu itu berkata selanjutnya, “Ki Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung telah mengenal cara hidupku sebelum aku disingkirkan dari istana ini. Dan aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu. Aku tidak akan dapat menempuh cara hidup yang lain”

“Tetapi, bagaimana sikap puteri terhadap Rara Warih?” bertanya Tumenggung Watang.

“Aku sudah memberikan penjelasan kepadanya. Ternyata bahwa hatinya memang lebih dekat dengan ibundanya. Ia percaya kepadaku, dan ia tidak menghiraukan lagi apakah ada seseorang yang bernama Juwiring, karena derajad kami memang berbeda”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Jika menyinggung soal derajad, maka ia sendiri pun akan merasa tersentuh pula, karena tentu Raden Ayu itu menganggapnya bahwa ia tidak sederajad dengan keluarga Ranakusuman.

“Lalu, bagaimanakah menurut Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang itu pula.

“Aku dan Rara Warih sendiri tidak berkeberatan untuk tinggal di tempatnya. Mungkin pengorbanannya itu benar-benar akan dapat memancing Juwiring. Tetapi kemungkinan itu kecil sekali” jawab Raden Ayu, “Juwiring tentu tidak menghiraukan sama sekali arti Rara Warih baginya”

“Jadi penahanan itu menurut puteri tidak akan ada gunanya?” bertanya Tumenggung Watang.

“Tidak” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Tetapi dapat dicoba. Sudah aku katakan, Rara Warih tidak berkeberatan tinggal di tempat itu selama lima hari lagi. Mudah-mudahan Juwiring benar-benar seorang laki-laki jantan dan bersedia datang untuk pembebasan Rara Warih”

Tumenggung Watang termangu-mangu sejenak. Namun ia tergagap ketika Raden Ayu itu bertanya, “Tetapi Ki Tumenggung. Setelah saat pengorbanan itu berakhir, apa yang akan Ki Tumenggung lakukan terhadap anak gadisku? Jika benar dalam waktu lima hari Juwiring tidak memenuhi wara-wara itu, apakah kesalahannya akan ditimpakan kepada Rara Warih? Jika demikian alangkah bangganya Juwiring dengan sikapnya. Ia sudah berhasil menepuk dua ekor lalat dengan sekali ayun. Yang pertama ia tetap bebas, sedang yang kedua, Warih, saingannya dalam memperebutkan warisan apapun ujudnya dari Pangeran Ranakusuma, telah di sisihkan oleh tangan-tangan yang tidak mengerti keadaan dan persoalannya”

Namun ternyata Ki Tumenggung itu menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak Raden Ayu. Tentu kami tidak akan dapat membebankan kesalahan Raden Juwiring dan ayahandanya kepada Rara Warih”

“Ki Tumenggung berbicara sebagai pribadi atau sebagai seorang Senapati dari pasukan berkuda yang dapat mempertanggung jawabkan kepada para Senapati yang lain dan kumpeni?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan membicarakannya dengan segala pihak. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku akan membantu Ki Tumenggung untuk membicarakannya dengan segala pihak”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa maksud Raden Ayu?”

Raden Ayu tertawa. Katanya, “Bukankah Ki Tumenggung sudah menyatakan bahwa Rara Warih tidak akan ternodai oleh kesalahan ayahandanya dan oleh Juwiring yang mengaku putera Pangeran Ranakusuma itu”

“Raden Juwiring memang putera Pangeran Ranakusuma” potong Tumenggung Watang.

“Tetapi ia tidak sederajad dengan Rara Warih” jawab Raden Ayu dengan wajah yang merah.

Tumenggung Watang tidak menyahut. Ia tidak ingin berbantah tentang susunan keluarga Pangeran Ranakusuma. Karena itu maka katanya kemudian, “Tetapi apakah yang Raden Ayu maksudkan dengan membantu aku untuk membicarakannya dengan segala pihak”

“Aku akan berbicara dengan siapa saja yang mungkin aku temui, dan yang mempunyai hubungan dan kepentingan langsung dengan penahanan Rara Warih selain Ki Tumenggung. Jika mereka sependapat dengan Ki Tumenggung, bukankah persoalannya sudah selesai?” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Wajah Ki Tumenggung menegang. Tetapi ia tahu maksud Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, katanya kemudian, “Tetapi penahanan itu harus genap sampai hari ke lima”

“Itu bukannya sikap yang dewasa” jawab Raden Ayu, “Tidak ada salahnya Warih dibebaskan meskipun ia baru satu atau dua hari berada di dalam tahanan. Tetapi dengan cara yang baik. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa gadis itu sudah dibebaskan. Sudah tentu para petugas akan mengetahui. Tetapi maksudku, orang luar tidak akan mengetahuinya, sehingga tidak akan mempengaruhi sikap Juwiring, meskipun aku tetap ragu, bahwa ia akan menghiraukan gadis yang disebut adiknya itu”

Tumenggung Watang hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang memperhitungkan, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu akan mungkin sekali mendapat persetujuan dari para Senapati dan Kumpeni.

Karena itu, maka katanya, “Terserahlah kepada Raden Ayu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak berperhitungan”

“Tentu. Ki Tumenggung akan dapat menilai segala keputusan yang akan diambil bersama tanpa merugikan usaha untuk menangkap. Juwiring, sebagaimana aku pun sebenarnya menghendakinya. Bahkan bukan saja ditangkap, tetapi dengan satu keyakinan, bahwa ia tidak akan mengganggu Warih di kemudian hari, karena aku akan bekerja dengan segala cara untuk menuntut hakku atas segala harta benda yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Tumenggung Watang hanya dapat mengangguk-angguk. Ia tidak dapat langsung menentang usaha Raden Ayu itu untuk mengambil haknya, justru ia sudah terlanjur tinggal di istana itu, meskipun hanya di sebagian kecil saja dari seluruh istana yang luas itu. Jika ia berbuat demikian, maka Raden Ayu itu akan menyangka, bahwa ia sendirilah yang sebenarnya ingin memiliki segala harta yang ada di dalam istana yang kosong itu.

Dalam pada itu, maka Raden Ayu Galihwarit pun segera minta diri kepada Tumenggung Watang untuk kembali ke istana ayahandanya, Pangeran Sindurata. Namun, demikian ia turun tangga menuju ke keretanya, ia masih sempat berpesan kepada Ki Tumenggung, “Ki Tumenggung, aku ingin mendengar Juwiring itu tertangkap di medan, bukan karena ia menyerahkan diri bagi pembebasan Rara Warih. Aku tidak mau berhutang budi pada anak pidak-pedarakan itu, agar aku tidak merasa berkewajiban untuk menebus-nya dengan cara apapun juga. Aku kira pasukan berkuda dari Surakarta yang besar itu akan dapat menangkapnya, hidup atau mati”

Tumenggung Watang tersenyum. Jawabnya, “Mudah-mudahan Raden Ayu. Mudah-mudahan kami segera dapat melakukannya tanpa menunggu anak itu datang menyerahkan diri”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Kemudian ia pun naik ke dalam kereta Pangeran Sindurata yang tidak sebaik kereta Pangeran Ranakusuma. Tetapi kereta itu cukup memadai bagi seorang puteri secantik Raden Ayu Galihwarit.

Sejenak kemudian maka kereta itu pun telah berderap meninggalkan halaman istana Pangeran Ranakusuma yang telah dikosongkan, dan yang kemudian dipergunakan oleh pasukan berkuda Surakarta yang perkasa itu.

Demikian kereta itu keluar dari regol halaman, maka senyum Raden Ayu itu pun segera lenyap dari bibirnya. Ia mulai merenung, bagaimana sebaiknya yang dilakukannya agar ia dapat membebaskan Rara Warih tanpa menunggu batas waktu yang diberikan oleh para Senapati di Surakarta.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit telah berpengalaman bergaul dengan kumpeni. Ia akan dapat memanfaatkan kebiasaannya itu. Apalagi karena Pangeran Ranakusuma sudah tidak ada.

Ketika ia sampai di istana ayahandanya, maka Raden Ayu itu pun segera menyampaikan persoalannya kepada ayahandanya. Ia mohon agar ayahandanya dapat membantunya, membebaskan Warih dari tangan pasukan berkuda yang menahannya.

“Aku tidak turut campur” jawab Pangeran Sindurata

“Aku sudah tua. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan menghadapi persoalan ini”

“Dan ayahanda sampai hati membiarkan cucunda dalam keadaan seperti sekarang?” bertanya Rara Warih.

“Sudah tentu aku tidak akan sampai hati. Tetapi apa yang dapat aku lakukan? Jika aku berusaha membebaskannya, apakah aku tidak akan dapat dituduh membantunya?” jawab Pangeran Sindurata. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau tidak usah cemas Galihwarit. Semuanya sudah aku bicarakan dengan beberapa orang perwira dari pasukan berkuda yang datang kemari. Yang mereka lakukan hanya sekedar sebuah permainan. Warih tidak akan mengalami apapun juga. Justru yang dilakukan itu akan dianggap sebagai satu pengorbanan dan satu perjuangan bagi Surakarta ”

Raden Ayu Galihwarit yang merasa mempunyai kemampuan tersendiri untuk menolong puterinya itu pun menjawab, “Baiklah ayahanda. Kita akan menunggu saja, apa yang akan terjadi atas anak gadisku itu”

Tetapi sebenarnyalah Raden Ayu Galihwarit tidak menunggu. Ternyata bahwa ia bertindak cepat. Sebagaimana pernah dilakukannya, maka ia pun mulai mengunjungi loji tempat tinggal kumpeni yang berada di Surakarta,

Kedatangannya memang mengejutkan. Tetapi Raden Ayu dapat saja mencari alasan, seolah-olah bahwa ia pun ikut mengutuk tingkah laku Pangeran Ranakusuma.

“Aku sudah diusirnya, jauh sebelum ia berkhianat” desis Raden Ayu Galihwarit sambil mengusap matanya.

“Jangan sedih Raden Ayu” seorang perwira kumpeni menghiburnya, “bukankah dengan demikian, Raden Ayu akan mendapat kebebasan lebih besar untuk berbuat apa saja”

Raden Ayu hanya tersenyum saja.

“Sekarang tidak akan ada lagi orang yang akan menantang duel salah seorang dari kami yang berhubungan dengan Raden Ayu” berkata kumpeni itu sambil tertawa.

Raden Ayu Galihwarit itu pun tersenyum pula.

“Raden Ayu nampak bertambah kurus” berkata perwira itu, “Kami tahu, Raden Ayu sedang sakit”

“Sekarang aku sudah sembuh” jawab Raden Ayu.

“Dan bertambah cantik” perwira itu mulai bergurau. Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak canggung lagi bergaul dengan orang asing itu. Bahkan ia nampak semakin berani dan semakin panas sepeninggal suaminya.

Namun dalam pada itu, di pagi harinya, pada saat matahari baru menjenguk dari balik cakrawala, sebuah kereta berderap menuju ke istana Ranakusuman yang dipergunakan oleh pasukan berkuda. Seorang puteri yang cantik duduk seorang diri di dalam kereta itu.

“Raden Ayu Galihwarit” desis para penjaga regol di istana Ranakusuman itu, “sepagi ini ia sudah datang kemari”

Tidak seorang pun yang tahu maksudnya. Namun mereka sama sekali tidak mencegah kereta itu memasuki halaman.

Ki Tumenggung Watang pun terkejut pula melihat kehadiran Raden Ayu itu. Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia menyambutnya.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang ketika Raden Ayu itu sudah duduk di dalam ruang yang khusus dipergunakan oleh Tumenggung Watang.

Raden Ayu tersenyum cerah sekali. Tanpa menjawab separah katapun ia menunjukkan sehelai surat kepada Tumenggung Watang.

Wajah Tumenggung Watang itu pun menjadi tegang. Diterima surat itu dengan jantung yang berdebaran.

“Apakah artinya ini Raden Ayu” bertanya Tumenggung Watang.

“Silahkan Ki Tumenggung membacanya” jawab Raden Ayu, “surat itu ditulis oleh seorang juru tulis yang berada di lingkungan kumpeni. Pada surat itu sudah dibubuhkan tanda sah atas surat itu”

Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun membaca isi surat itu.

Terasa wajah Tumenggung Watang menjadi panas. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana mungkin hal ini terjadi Raden Ayu”

“Seperti sudah aku katakan, aku akan membantu Ki Tumenggung” jawab Raden Ayu Galihwarit

“Tetapi tindakan Raden Ayu ini telah melanggar hakku. Dan surat ini pun sebenarnya dapat aku tolak dan tidak berlaku” jawab Tumenggung Watang.

Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Tentu akan terasa aneh jika Ki Tumenggung menolak surat itu. Yang mula-mula mengatakan bahwa Rara Warih tidak dapat dibebani kesalahan ayahandanya dan kesalahan Juwiring adalah Ki Tumenggung Kemudian Ki Tumenggung mengatakan, akan membicarakan hal ini dengan pihak-pihak lain. Untuk itu aku bersedia membantunya. Dan aku sudah berbicara dengan kumpeni, sehingga kumpeni telah menulis surat itu”

bersambung ke bagian 2

4 Tanggapan

  1. Poro sederek, blaik ane jilid 23 bagian 2 gemboke kok boten saged kebikak? Punopo kedah ngangge aji Brojogeni?, lha kulo dereng lulus aji puniko, sinten poro sederek2 ingkang saged ngajari bikak gembok bagian 2 jilid 23? Maturnuwun.

    • O……., ngapunten Risang lupa buat butulan untuk masuk bagian 2.
      Tetapi, sebenarnya bisa kok, Ki Djoko klik nomer 2 di pojok kiri bawah, ada tulisan Pages:1 2 3, nah… klik no 2 untuk halaman 2 dan 3 untuk halaman 3.
      Silahkan dicoba

  2. 1,2,3

  3. makin asyik

Tinggalkan komentar